Saturday, June 27, 2015

Fahrenheit 451

11386449_1579221732338407_756810237_n
"It's fine work. Monday bum Millay, Wednesday Whitman, Friday Faulkner, burn 'em to ashes, then bum the ashes. That's our official slogan."

Guy Montag.

Seorang yang kesehariannya bertugas untuk membakar buku. Yap, pada masa ini buku adalah sebuah benda yang dilarang dan dianggap melanggar hukum. Setiap tindakan yang dilakukan oleh para fireman hanyalah dengan membakarnya. Apapun alasannya dan siapapun yang menghalanginya.

Suatu ketika Montag bersua dengan Clarrise yang tinggal di lingkungan yang sama dengan Montag, rasa penasaran Clarrise membuatnya dia berani untuk mengobrol dengan Montag dan kemudian bertanya padanya apakah dia bahagia, Montag kemudian menjawab bahwa dia bahagia meski dengan sedikit keraguan dan ketidakyakinan terhadap jawabannya sendiri. Tapi dia merasa bahwa dia bahagia...pada saat itu...setidaknya.

Pelanggaran terjadi, alarm meraung memanggilnya untuk bertugas. Dengan sigap bersama dengan timnya dan Kapten Beatty, mereka mendatangi rumah tersebut dan membakarnya, tentu saja karena pelanggaran dengan menyimpan dan memiliki banyak buku, usaha pemiliknya untuk menghalangi tindakan mereka pun sia-sia dan pada akhirnya sang pemilik memilih mati dengan buku-bukunya. Rasa penasaran dan ketidakpastian yang menyelubungi hidup Montag, membuatnya nekat dengan menyembunyikan sebuah bible dan membawa serta dengan drinya saat keluar dari rumah yang berubah menjadi arang dan abu tersebut.

Di rumahnya, rasa takut istrinya yang marah dengan benda yang dibawanya tersebut menyebabkan mereka beradu mulut. Karena benda tersebut, dirinya seolah menggila, menggusarkan hatinya dan merusak ketenangan hidup mereka yang berjalan sebagaimana mestinya, meski tidak menyurutkan rasa keingintahuan Montag dan berujung pada keberaniannya untuk mulai membaca. Tanpa dia sadari...saat itulah nasibnya berubah.

Montag tahu konsekuensi atas tindakannya, tapi apakah dia akan bertahan dari hal yang bisa menyebabkan peperangan, dan apakah pembakaran akan menimpa dirinya? Sanggupkah dia bertahan, berjuang demi sebuah buku, sebuah prinsip, sebuah keyakinan yang tumbuh didalam hatinya diluar hal tersebut?




Buku ini membuat membutuhkan pemahaman yang lebih dibandingkan dengan novel yang banyak beredar saat ini. Dengan membaca terjemahannya yang terlalu pakem sesuai dengan bahasa aslinya, akhirnya saya memutuskan untuk versi aslinya dengan sedikit mengerutkan kening untuk memahami ceritanya. Cerita yang pada awalnya menjatuhkan, tapi ditutup dengan keseruan tersendiri bagi penggemar tulisan seperti ini. Seperti membuka pandangan baru disela karya yang terlalu umum.
"Speed up the film, Montag, quick. Click? Pic? Look, Eye, Now, Flick, Here, There, Swift, Pace, Up, Down, In, Out, Why, How, Who, What, Where, Eh? Uh! Bang! Smack! Wallop, Bing, Bong, Boom! Digest-digests, digest-digest-digests. Politics? One column, two sentences, a headline! Then, in mid-air, all vanishes! Whirl man's mind around about so fast under the pumping hands of publishers, exploiters, broadcasters, that the centrifuge flings off all unnecessary, time-wasting thought!"

Penegasan, perintah, penguatan pernyataan, ekspresi yang ditulis hanya dengan satu kata yang saling menguatkan satu sama lain. Kata-kata yang umum dipakai dalam keseharian. Akan tetapi pada buku ini saya mendapati kata-kata tersebut terasa lebih beremosi dan berkarakter. Mempunyai sifat kerasnya sendiri dan berdiri kokoh.

Yang saya bayangkan dalam pementasan drama adalah saat pelakon saling berhadapan, berbicara dan kemudian didalamnya salah satu pelakon bermonolog memberikan penjelasan mengenai sebuah perbuatan.

Terdapat banyak kata-kata atau kalimat-kalimat yang sejenis pada buku ini. Yang berpola sama dan sedikit membingungkan. Monolog yang diselipkan dalam dialog pada sebuah buku.
"Now let's take up the minorities in our civilization, shall we? Bigger the population, the more minorities. Don't step on the toes of the dog?lovers, the cat?lovers, doctors, lawyers, merchants, chiefs, Mormons, Baptists, Unitarians, second? generation Chinese, Swedes, Italians, Germans, Texans, Brooklynites, Irishmen, people from Oregon or Mexico. The people in this book, this play, this TV serial are not meant to represent any actual painters, cartographers, mechanics anywhere. The bigger your market, Montag, the less you handle controversy, remember that! All the minor minor minorities with their navels to be kept clean. Authors, full of evil thoughts, lock up your typewriters. They did. Magazines became a nice blend of vanilla tapioca. Books, so the damned snobbish critics said, were dishwater. No wonder books stopped selling, the critics said. But the public, knowing what it wanted, spinning happily, let the comic?books survive. And the three?dimensional sex?magazines, of course. There you have it, Montag. It didn't come from the Government down. There was no dictum, no declaration, no censorship, to start with, no! Technology, mass exploitation, and minority pressure carried the trick, thank God. Today, thanks to them, you can stay happy all the time, you are allowed to read comics, the good old confessions, or trade?journals."

dalam kalimat diatas penjelasan yang diberikan adalah tanpa jeda. Tanpa disela dengan kegiatan atau hal lain yang banyak ditemukan dalam novel modern. Membosankan, iya tapi menarik karena dengan seperti itu sebuah kalimat tampak lebih kuat apabila dibandingkan dengan kalimat yang diberikan deskripsi/hal yang sedang dikerjakan atau sejenisnya.
"Number one: Do you know why books such as this are so important? Because they have quality. And what does the word quality mean? To me it means texture. This book has pores. It has features. This book can go under the microscope. You'd find life under the glass, streaming past in infinite profusion. The more pores, the more truthfully recorded details of life per square inch you can get on a sheet of paper, the more `literary' you are. That's my definition, anyway. Telling detail. Fresh detail. The good writers touch life often. The mediocre ones run a quick hand over her. The bad ones rape her and leave her for the flies."

"So now do you see why books are hated and feared? They show the pores in the face of life. The comfortable people want only wax moon faces, poreless, hairless, expressionless. We are living in a time when flowers are trying to live on flowers, instead of growing on good rain and black loam. Even fireworks, for all their prettiness, come from the chemistry of the earth. Yet somehow we think we can grow, feeding on flowers and fireworks, without completing the cycle back to reality. Do you know the legend of Hercules and Antaeus, the giant wrestler, whose strength was incredible so long as he stood firmly on the earth. But when he was held, rootless, in mid-air, by Hercules, he perished easily. If there isn't something in that legend for us today, in this city, in our time, then I am completely insane. Well, there we have the first thing I said we needed. Quality, texture of information."

"And the second?"

"Leisure."

"Oh, but we've plenty of off-hours."

"Off-hours, yes. But time to think? If you're not driving a hundred miles an hour, at a clip where you can't think of anything else but the danger, then you're playing some game or sitting in some room where you can't argue with the fourwall televisor. Why? The televisor is 'real.' It is immediate, it has dimension. It tells you what to think and blasts it in. It must be, right. It seems so right. It rushes you on so quickly to its own conclusions your mind hasn't time to protest,

"Only if the third necessary thing could be given us. Number one, as I said, quality of information. Number two: leisure to digest it. And number three: the right to carry out actions based on what we learn from the inter-action of the first two. And I hardly think a very old man and a fireman turned sour could do much this late in the game..."

Penggalan dialog dari buku tersebut. Yang dijadikan alasan untuk mempertahankan keberadaan buku dan menentang hukum yang berlaku saat itu. Sebuah buku dari pandangan seorang penulis secara tidak langsung. (penggalannya terlalu panjang ya :P)

Dalam buku ini juga termuat stanza keempat dan terakhir dari puisi Dover Beach karya Matthew Arnold  (berikut saya sertakan link penjelasan berkenaan dengan stanza tersebut)
The Sea of Faith
Was once, too, at the full, and round earth's shore
Lay like the folds of a bright girdle furled.
But now I only hear
Its melancholy, long, withdrawing roar,
Retreating, to the breath
Of the night-wind, down the vast edges drear
And naked shingles of the world.

Ah, love, let us be true
To one another! for the world, which seems
To lie before us like a land of dreams,
So various, so beautiful, so new,
Hath really neither joy, nor love, nor light,
Nor certitude, nor peace, nor help for pain;
And we are here as on a darkling plain
Swept with confused alarms of struggle and flight,
Where ignorant armies clash by night.

http://www.shmoop.com/dover-beach/summary.html

http://genius.com/Matthew-arnold-dover-beach-annotated/




Fahrenheit 451 adalah sebuah novel distopia yang ditulis oleh Ray Bradbury dan dipublikasikan pada tahun 1953. Novel ini dianggap sebagai salah satu karya terbaiknya, yang bercerita tentang Kehidupan masa depan di Amerika, dimana buku adalah sebuah pelanggaran hukum dan firemen akan membakar semua yang dapat mereka temukan. Judulnya sendiri mengacu pada temperatur yang diyakini oleh penulis sebagai suhu dimana kertas dapat terbakar dengan sendirinya.

Pada kasus ini saya tetap menggunakan kata firemen yang mempunyai dua arti baik sebagai pemadam api (atau yang lebih dikenal dengan nama fire fighter) atau penyulut api (atau yang lebih dikenal dengan nama arsonist). Ada pendapat lain mengatakan bahwa firemen adalah orang yang berhubungan dengan api seperti boiler/stoker (anggap saja orang yang memasukkan kayu/ batu bara ke tungku api untuk menjaga kehangatan udara atau bisa juga orang yang memasukkan batu bara pada kereta api uap supaya tidak padam).

Referensi:

https://en.wikipedia.org/wiki/Fahrenheit_451

https://en.wikipedia.org/wiki/Ray_Bradbury

Tuesday, June 23, 2015

City of Fallen Angels, City of Lost Souls, City of Heavenly Fire (The Mortal Instruments #4, #5, #6)

11356524_644454178988798_1221806819_n

Hahahaha.....hahahaha...... #gubrak

Maaf, otak saya sedikit berasap. #plakk

Kali ini saya bermaksud untuk corat-coret untuk tiga buku sekaligus. City of Fallen Angels, City of Lost Souls dan City of Heavenly Fire, tiga buku terakhir dari seri The Mortal Instruments.

Jujur, saya bingung. Apakah saya akan menulis cerita singkat buku berkaitan atau menulis pendapat saya langsung. Dan.... saya akan menuliskan langsung saja karena tidak ingin mengurangi keasyikan bagi yang belum membaca seri ini.

City of Fallen Angels
Seru! Melanjutkan cerita yang ditinggalkan setelah pertempuran pertama yang diakhiri dengan kematian Sebastian. Masih seputar kehidupan dan kisah percintaan seputar Clary dan Jace. Pertarungan dengan Lilith yang menuntut hak sebagai akibat akan apa yang dilakukan Clary terhadap Jace pada buku sebelumnya.

City of Lost Souls
Buku ini merupakan buku yang paling membosankan untuk seri ini. Lebih dari setengah bukunya sendiri pun membuat saya bosan dan hampir membuat saya melemparkan buku ini (hanya pura-pura). Untung saja, bagian akhirnya ditutup dengan cerita yang mendebarkan dan seperti menjadi gerbang pembuka buku keenamnya. Sayang meski begitu tidak cukup untuk membuat saya senang karena hampir seperti membuat saya sia-sia menghabiskan waktu untuk membaca beberapa bagian buku ini.

City of Heavenly Fire
Setelah menahan diri cukup lama (melupakan lebih tepatnya) sejak penerbitan buku ini di Indonesia. Akhirnya saya berhasil membaca buku ini. Ukuran font yang tidak bisa dibilang besar yang dipakai pada buku ini, ternyata tidak mengurangi petualangan saya karena ceritanya yang sangat menarik sedari awal. Atmosfer buku yang sangat kental dicampur aduk dengan permainan emosi yang Cassie torehkan. Begitu banyak aksi dan informasi baru mengenai dunia pemburu bayangan dalam buku ini. Koneksi yang dibangun dengan The Infernal Devices yang merupakan bumbu tersendiri dan salah satu daya pikat lain seri ini (but I want more). Bahkan sampai halaman terakhir rasa bersemangat dan efek dari buku ini masih terasa, meskipun ada beberapa hal yang dibiarkan tetap menjadi misteri. Bertahan selama berjam-jam untuk menyelesaikan buku ini terbayar sudah melepas kekecewaan saya terhadap buku sebelumnya. Dan dengan ending yang seperti itu, you got me! #halah #sokinggris

Seperti yang sudah-sudah pendapat saya tentang tulisan Cassandra Clare tidak berubah. Well-written, well-executed, ringan untuk dibaca dan ada hal menarik di setiap kata-katanya yang menyihir dan membuat saya betah untuk menyelesaikannya.

Okay, that’s all. I’m definitely lost in words to describe it.

Berikutnya Kau yang Mati

11333718_1640654139490071_1210030660_n
it’s not a coincidence. It’s the path they have to walk with.

Yup. Lokal. Karya anak negeri. Dan jangan heran. Saya mendapatkan buku ini melalui Giveaway Goodreads.

Mereka tidak mengenal satu sama lain, akan tetapi mereka mati di saat yang berdekatan. Sebuah kejadian yang janggal apabila disebut sebagai sebuah kebetulan, sebuah kebetulan yang mengerikan. (cukup itu saja yang bisa saya tuliskan)

Sebuah buku bergenre horor yang menceritakan tentang kehidupan enam orang yang berbeda, berjauhan meski bisa dibilang masih dalam satu ruang lingkup daerah yang sama. Kehidupan ke-enam orang itulah yang yang diangkat dan dijadikan bahan cerita pada buku ini. Ide untuk menghubungkan cerita mereka saya sadari ketika saya mulai membaca cerita kedua dan yang ada dalam pikiran saya, “oke, ini menarik”.

Sebenarnya cerita ini ditulis dengan runtut, tapi berdasarkan eksekusinya sedikit kurang menurut saya.

  1. Penggunaan kata banyolan dalam bahasa jawa yang diselipkan dalam beberapa cerita. Mengingat latar belakang tempat sebagian kisah ini terjadi di Purwokerto pada awalnya sedikit aneh ketika mendapatkan dialog dalam bahasa Indonesia karena, Ya, kebanyakan dari mereka berbahasa jawa (dalam kesehariannya sekalipun) yang sangat tidak mungkin dituliskan dalam sebuah novel untuk pangsa pasar nasional. Acceptable. Sampai pada saat saya menemukan banyolan tersebut yang ditulis dalam bahasa Jawa.

  2. Adanya kata-kata serapan (adaptasi maupun adopsi). Menggambarkan tingkat kecerdasan karakter yang ada, Iya. Tapi sebagai pembaca saya sedikit merasa aneh saja. Asumsi, visualisasi adalah beberapa kata yang saya baca. Sedikit tidak nyaman apabila digunakan dalam kalimat dan disandingkan untuk menceritakan/ berdialog padahal ada kata yang bisa mewakili seperti anggap dan gambaran.

  3. Karena penulis menggunakan konsep cerita terpisah, yang terdapat penghubung diantaranya, maka sudah sewajarnyalah ketelitian sangat dibutuhkan (bukan dalam konsep seperti ini saja sebenarnya. Tapi novel biasapun seharusnya juga karena kita tidak mungkin menyebutkan dua fakta yang berbeda untuk hal yang sama). Saya menjumpai bahwa penulis kecolongan (meski hanya satu tempat yang saya temukan) yaitu pada hal. 39 “Kayaknya masih lumayan jauh, deh. Dengan kecepatan normal mungkin tiga atau empat jam kita baru bisa sampai di Dieng.” dan pada hal. 66 “Masih lumayan jauh kayaknya deh. Dengan kecepatan normal mungkin tiga atau empat jam kita baru bisa sampai di Dieng.

  4. Pada salah satu cerita penulis menggunakan kata “.... hari H” yang menurut saya agak aneh. Mungkin perlu mencari padanan kata yang lain. Karena penggunaan kata tersebut dalam cerita ini sedikit melemahkan faktor misteri karena kita akan tahu sesuatu akan terjadi. Apalagi dengan pola yang sudah ketahuan bahwa cerita setelahnya berkaitan dengan cerita sebelumnya.


Secara garis besar buku ini berhasil bercerita dengan baik. Beralur cepat tapi tidak terasa dipadatkan, tidak terasa diburu oleh jumlah halaman yang sedikit. Menarik untuk dibaca sampai selesai. Is it scary? Don’t think so. I’ve seen worse. Tapi meski begitu, buat yang takut dengan cerita horor, kadar buku ini masih dalam taraf ‘aman’ untuk dibaca. J

Time Riders: The Eternal War (Time Rider #4)

11376236_654402521327927_97422150_n

Sal, Liam dan Maddy kembali melakukan perjalanan waktu. Kali ini untuk membenahi waktu yang terganggu akibat kematian Abraham Lincoln akibat tertabrak kereta kuda. (ini serius)

Ditemani oleh Bob dan Sal yang ngotot ingin merasa lebih berguna, akhirnya Liam pergi melakukan perjalanan itu dan berhasil menyelamatkan Lincoln yang ternyata mabuk berat dan kemudian pingsan setelah mereka berhasil menyelamatkannya. Beberapa saat setelah sadar, dia mencuri dengar pembicaraan antara Liam dan yang lainnya berkenaan dengan nasib dirinya, ‘masa depan’ dan ‘presiden’. Meskipun baginya itu tidak terlalu jelas tapi sudah cukup untuk membuatnya penasaran dan melompat ke jendela waktu tepat ketika Liam dan yang lain melakukan perjalanan pulang, dan kemudian melarikan diri ke dunia yang tidak dia kenal. Saat itulah gelombang waktu berdatangan dan merubah kenyataan yang seharusnya berjalan.

Berhasilkan mereka menemukan Lincoln dan mengembalikan ke kenyataan sebenarnya apalagi setelah ruangan beratap lengkung dan isinya rusak dan porak poranda akibat getaran gelombang waktu yang sangat besar?




Buku keempat dari seri Time Riders karya Alex Scarrow ini masih berkutat dengan perbaikan waktu yang harus dilakukan oleh Liam dan tim. Buat saya pribadi, seri ini mulai sedikit memenangkan rasa bosan saya. Kenapa? Karena sejarah dan masalah yang terjadi secara berulang tanpa disertai pengembangan cerita yang signifikan. Apalagi dalam buku ini pula perkembangan cerita utama berkenaan dengan agen perjalanan waktu dan kisah dibalik terjadinya perjanan waktu yang terjadi saat ini hanya disinggung sedikit, kurang dari 5 halaman. Bahkan kisah tentang jati diri Foster yang terbongkar pada buku sebelumnya pun terasa dilupakan dan hanya disinggung dalam 2-3 baris kalimat.

Seperti yang sudah-sudah Alex Scarrow menggunakan konsep perjalanan waktu yang bahwa kenyataan yang ada hanya satu, dan kenyataan alternatif yang lain akan hilang dan terlupakan. Buku lain yang mempunyai konsep serupa adalah The Gideon Trilogy karya Linda Buckley-Archer, meskipun tidak dijelaskan secara nyata tetapi bertahan pada satu kenyataan saja. Paling jelas ketika Kate meninggalkan pesan untuk temannya.

Untuk perkembangan cerita pada buku ini, tidak perlu dikomentari lebih lanjut karena hampir rasanya tidak ada. Bahkan kisah penyelamatan waktunya sendiri meski dikemas dalam cerita lain (dalam hal ini penyelamatan Abrahan Lincoln) juga tidak berhasil mendapatkan perhatian. Aspek kejutan dan ketertarikan buat pembaca untuk melanjutkan ke halaman berikutnya juga bisa dibilang tidak ada karena semuanya terasa biasa saja.

Beruntunglah buku ini masih dikemas dalam cover aslinya yang menarik perhatian dan jujur saja, menarik untuk dikoleksi dan disandingkan berurutan. :D Kalau ditanya apa saya menunggu buku kelima? Jujur saja, saya pasrah..haha diterbitkan oke, tidak diterbitkan juga tidak masalah apalagi dengan cerita sperti ini. Hahaha

Thursday, June 18, 2015

House of Secrets (House of Secrets #1)

11208603_384391455079361_683787011_n

Petualangan mereka dimulai.

Keluarga Walker memutuskan untuk membeli rumah itu, Rumah besar bergaya Victoria yang berada di pingir tebing, menghadap laut dan dikelilingi hutan pinus. Selain ukuran dan model rumah yang sangat mereka sukai, mereka bisa mendapatkan rumah tersebut dengan harga yang sangat murah. Rumah yang dikenal dengan Rumah Kristoff.

Cordelia pun langsung jatuh cinta dengan perpustakaan yang ada di rumah tersebut, yang memuat banyak buku dari penulis favoritnya, Denver Kristoff. Brendan yang yang terlalu sibuk dengan permainan ditangannya dan Eleanor yang...yah...bersenang-senang dengan dunianya sendiri.

Suatu hari, seorang wanita misterius datang dan marah kepada keluarga itu. Wanita yang mengatakan bahwa mereka (Keluarga Walker) tidak berhak atas rumah itu. Pada akhirnya wanita itu memporakporandakan isi dalam rumah dengan mendatangkan angin. Dan melemparkan rumah tersebut ke dunia paralel.

Hanya ketiga anak Walker yang bertahan, ketidakberadaan Ibu dan Ayah mereka semakin membuat mereka ketakutan, yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka harus bertahan hidup dan mencari jalan pulang.

Petualangan pun dimulai ketika wanita misterius itu kembali, mengaku sebagai penyihir angin dan meminta bantuan pada anak-anak tersebut untuk mencari sebuah buku. Buku yang tidak bisa dia sentuh. Kapan dan dimana buku itu akan muncul, mereka akan mengetahuinya, kata wanita tersebut.

Sekelompok makhluk menyerang mereka, pasukan berkuda yang menjarah rumah tersebut. Rumah yang dianggap sebagai tempat asing yang berisi dengan barang-barang yang membuat mereka penasaran. Di saat itulah, datanglah Will yang menyelamatkan mereka , yang kemudian Cordelia sadari bahwa Will adalah salah satu karakter fiksi dari buku yang dia baca. Dari situlah pada akhirnya dia menyadari bahwa mereka terjebak dalam dunia buku karangan Denver Kristoff, bukan satu tetapi tiga buku sekaligus. Mereka mulai mencari petunjuk dengan harapan bahwa mereka bisa kembali pulang dan menemukan orang tua mereka.

Buku apakah itu kenapa wanita itu sangat menginginkannya? Kenapa terjadi pada keluarga Walker seperti yang sudah diduga sebelumnya? Berhasilkah mereka pulang dan menemukan orang tuanya?




Satu lagi, buku fantasi petualangan yang disajikan dengan alur yang cepat dan membuat pembacanya menahan nafas.

Ide cerita dari cerita ini tidak bisa dibilang baru. Kenapa? Karena sudah ada beberapa judul yang keluar (meski bukan dengan media buku) dan berhasil di pasaran. Sebut saja Jumanji, film yang mengajak kita berpetualang di hutan (yang tidak bisa disebut hutan) yang “dibawa” ke masa modern, lengkap dengan hewan penghuninya yang tidak bisa dibilang ramah, atau Zathura, sebuah papan permainan sejenis monopoli yang menerbangkan kita keluar angkasa dan menghadapi alien, dan gejala alam lainnya (meski sampai saat ini saya masih penasaran bagaimana mereka bisa bernafas). Tetapi, Chris Columbus menggunakan cerita pada buku alih-alih papan permainan sebagai perkembangan jalan ceritanya. Yup, buat para Vernian pasti sudah tahu apa yang saya bicarakan.

Chris Columbus, buat kalian penyuka film. Pasti tahu bahwa dialah yang menggawangi kesuksesan seri pertama dan kedua Harry Potter. Meski buat sebagian orang juga merasa kecewa karena dia pulalah yang membuat seri pertama Percy Jackson. Pada buku ini dia menggaet Ned Vizzini sebagai partnernya, penulis yang sukses menulis empat buku YA termasuk It's Kind of a Funny Story yang termasuk dalam 100 Cerita Remaja Terbaik versi NPR. Sayangnya, penulis ini meninggal, diperkirakan jatuh karena bunuh diri pada tahun 2013. Pengerjaan buku keduanya sendiri telah rampung dan diterbitkan yang berjudul Battle of the Beasts sedang buku ketiganya diharapkan untuk terbit tahun 2016 (berdasarkan goodreads) berjudul Clash of the Worlds.

Mungkin saya baru membaca beberapa buku yang ditulis oleh seorang Director (atau apapun kontirbusi mereka dalam film). Dan yang ada didalam pikiran saya adalah bahwa buku yang dituliskan/dihasilkan akan berlubang (kehilangan detil, timeline atau sejenisnya) yang bisa ‘ditambal’ pada filmnya ataukah malah akan menjadi terlalu detil (cenderung membosankan bagi sebagian orang karena dinilai terlalu bertele-tele) seolah kita membuat film sendiri di dalam otak dan yang terakhir saya dapatkan ketika saya membaca The Strain karya Guillermo del Toro dan Chuck Hogan.

Eksekusi jalan ceritanya sendiri tidak bisa dibilang mulus, detil cerita banyak yang ditulis begitu saja dan terkesan disengaja untuk memadatkan cerita (saya pribadi berpendapat karena semua bisa digambarkan olehnya pada filmnya), hal ini dibuktikan hak cipta filmnya sudah dibeli oleh Rise Entertainment dan akan digarap oleh 1492 Pictures, perusahaan film yang didirikan oleh Chris Columbus sendiri. Dari segi karakter juga sama saja, jelas tapi masih terlalu lemah, kurang berkarakter dan seolah hanya cameo yang disempilkan pada cerita untuk beberapa karakter, bahkan jalannya cerita juga banyak yang kurang masuk diakal dan sebatas kebetulan. Rumah yang dijadikan tempat mereka “berjuang”, saya tidak bisa membayangkan terbuat dari bahan apa, tapi untuk ukuran sebuah rumah kuno , bisa dipastikan rumah itu sangat amat kuat.

Beruntung pada buku ini terdapat endorsment dari J.K. Rowling “A breakneck roller-coaster of an adventure.” (Atau yang pada buku terjemahannya diterjemahkan menjadi “Petualangan menegangkan hingga titik terakhir.....” Errr....okay?!? (Jadi ingat jingle iklan susu ‘aku suka susunya...hingga tetes terakhir’) ) yang secara tidak langsung meningkatkan “derajat” buku ini dengan mendompleng nama besar didunia literasi. Sedangkan nuansa covernya sendiri mengingatkan saya dengan The Land of Storiesnya Chris Colfer. Dan untuk versi terjemahan JELAS pada Heroes of Olympus.

Mari berharap banyak perbaikan pada buku kelanjutannya dan keseruan cerita yang akan menutupi yang saya anggap kekurangan yang ada.

House

PS. Feel free to CMIIW in name, place, time or others.

Tuesday, June 16, 2015

Winter People

wpGreets!

Maaf sudah lama nggak ngerusuh, beberapa buku yang sudah dibaca pun belum ditulis coretannya karena rasa malas yang melanda #halah.

Kali ini saya akan menuliskan coretan tentang Winter People karya Jennifer McMahon hasil memenangkan giveaway (Alhamdulillah...rejeki anak sholeh...) yang diadakan oleh editornya :D




Winter is Coming!! #plakk (Salah seri oii!!!)

Sleeper, mereka bilang. Orang yang sudah meninggal dan dibangkitkan lagi oleh ritual karena bagi sebagian orang mereka percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal masih berada di dunia ini. Itulah yang dialami oleh Sara, sang ibu yang belum siap ditinggalkan anak terakhirnya, dia pun berusaha untuk mencari cara untuk menghidupkan anaknya kembali. Apapun bayarannya.

Seorang bibi yang Sara kenal memberikan surat kepadanya untuk dibuka di saat dia sudah dirasa siap. Dan hal inilah yang akan menjadi awal mula semua kisah yang ada.




Saya tidak akan lagi menuliskan garis besar cerita yang ada karena akan mempengaruhi keasyikan membaca kalian. Hahahaha.... (bilang aja malas)

Buku ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu masa dimana Sara hidup berasal yaitu tahun 1908 dan entah tahun berapa di saat dia kecil dan masa sekarang dimana Ruthie dan Katherine hidup. Ceritanya ditulis dengan konsep kilas balik ke awal mula cerita utama yang disandingkan dengan cerita masa sekarang yaitu saat Katherine mencoba mencari tahu tentang rahasia yang disimpan oleh suaminya Gary dan Ruthie yang berusaha menemukan ibunya, Alice yang tiba-tiba menghilang begitu saja saat dia pulang dari bersenang-senang.

Pada awalnya, cerita ini membutuhkan sedikit kerjasama antara mata dengan otak untuk menelaah, apalagi dengan format penulisan yang seperti saya kemukakan diatas. Akan tetapi, setelah beberapa hampir empatpuluh halaman saya pertahankan untuk dibaca, saya mulai bisa menikmati buku ini dan memilah-milah per kejadian dan meruntutkannya (dalam otak).

Ide ceritanya sendiri sederhana, menurut saya. Tapi yang menjadi daya tarik disini adalah bagaimana sang penulis membangun sedikit demi sedikit misteri yang ada. Banyak misteri yang sedikit demi sedikit mulai tersingkap seiring dengan berjalannya cerita dalam buku ini hingga pada akhirnya terkuaklah misteri yang menyelubungi karakter yang ada. Diceritakan dengan alur yang cepat atau mungkin karena paksaan dari jumlah halaman dan gaya bercerita yang menarik, yang sayangnya malah sedikit mengorbankan detil cerita. Penggambaran latar antara tahun 1908 dan Masa Sekarang tidak jauh berbeda satu sama lain. Penggunaan banyak nama bunga, hewan atau tumbuhan dan hal lainnya yang dimaksudkan untuk turut membangun dunia dan garis waktu pada buku ini juga kurang cukup untuk mendongkrak atmosfer, malah seolah hanya sebagai hiasan untuk tulisan ini. Meskipun begitu, Penulis berhasil membuat suasana kelam dan penuh tanda tanya, emosi yang cukup membuat frustasi, cemas, bingung dan bahkan takut dengan gelagat tokohnya.

Bila dibandingkan dengan buku lain dengan genre sama atau hampir mirip buku ini lebih lemah. Sebagai perbandingan sebut saja Anna Dressed in Blood yang sedikit lebih mencekam atau Tunnels series yang sangat membuat tertekan yang meski tanpa hantu tapi cukup membuat saya berpikiran yang tidak-tidak. Buat kalian yang tidak terlalu (benci) suka horor, buku ini dalam taraf ‘aman’ buat dibaca (tepercaya dan sudah saya buktikan sendiri :P)

Untuk desain covernya, saya suka. Suasananya dapat untuk penggambaran judul yang akan tetapi sedikit saya dapatkan di bukunya karena ternyata .... (silakan diisi sendiri setelah dibaca).

Selain itu penulis juga sudah membocorkan hal yang penting dari awal (sekali lagi, silakan cari tahu sendiri) yang membuat ketegangan yang saya rasakan berkurang. Dan pertanyaan saya berkenaan dengan apa yang terjadi pada hal tersebut adalah sebuah tanda tanya dan memang tidak diceritakan karena (saya rasa) hanya sebagai sebuah ‘bukti’. Endingnya sendiri juga sudah bisa saya tebak lagi-lagi karena penulis sudah memberikan petunjuk sebelumnya dan saya yang terlalu banyak melihat serial TV tapi alangkah akan lebih menjengkelkan buat pembaca apabila tidak ditutup seperti itu, meski itu berarti membuka peluang untuk melanjutkan cerita ini ataupun membuat cerita pendamping buku ini.