Monday, April 27, 2015

Half Bad

IMG_20150412_125430by Sally Green

Hidup di dunia dimana penyihir dan manusia (yang disebut fain) hidup berdampingan, Nathan, seorang Bastar di antara golongannya. Bastar adalah penyihir yang lahir dari hasil hubungan penyihir putih dan penyihir hitam atau yang dewan tulis sebagai 0,5 H dan 0,5 P. Tinggal bersama keluarga dari ibunya yang sudah meninggal dan berada dalam situasi yang membingungkan karena dia adalah anak dari Marcus seorang penyihir hitam, yang membunuh ayah dari saudaranya dan kemudian berhubungan dengan Cora Bryn, ibu mereka yang merupakan seorang penyihir putih. Tinggal bersamanya adalah Arran dan Deborah yang menyayanginya dan peduli padanya serta Jessica yang begitu membencinya karena hal yang dilakukan Marcus yaitu membunuh ayah kandungnya, tidak lupa nenek mereka yang selalu menjadi penengah antara mereka berdua.

Nathan yang berdarah campuran merasa cemas karena merasa dikekang oleh dewan yang dibentuk untuk mengawasi semua penyihir dan berharap untuk diselamatkan oleh ayahnya. Dia juga cemas akan siapa yang akan memberinya anugerah pada umurnya 17 tahun nanti karena setiap penyihir baik putih maupun hitam wajib menerima 3 anugerah dari penyihir lainnya karena apabila tidak maka bisa dipastikan dia akan mati.

Buku ini terbagi menjadi dua bagian (buat saya) yaitu masa sebelum karakter utama sebelum dan sesudah ditangkap oleh dewan. Meskipun keduanya bisa dipastikan saling berkaitan. Untuk bagian pertama buku ini cenderung membosankan dan tidak semenarik bagian keduanya yang lebih mengedepankan aksi, petualangan dan perjuangan Nathan untuk mencari jalan keluar untuk hidupnya yang terombang-ambing.

Bagian pertama buku ini berkisah tentang hidupnya yang bisa dibilang tanpa hambatan selain penindasan dari kakaknya, Jessica dan teman sekolahnya. Kehidupan cintanya (iya cintanya...) yang mendapat tentangan dari keluarga teman perempuannya karena kenyataannya adalah dia berasal dari keluarga penyihir putih murni dan terpandang sedangkan Nathan merupakan anak dari penyihir hitam yang paling dicari. Bahkan beberapa keluarga gadis yang disukainya menduduki dewan dan menentukan peraturan-peraturan bagi semua penyihir.

Perburuan terhadap penyihir hitam pun membuatnya khawatir karena ketidaktahuannya apakah dia akan menjadi penyihir putih atau penyihir hitam karena percampuran darah ayah dan ibunya. Hal yang akan dia ketahui pada umur 17 tahun nanti. Jessica sendiri menjadi pemburu setelah ulang tahunnya yang ke-17 dan menerima anugerah dari neneknya, salah satu kenyataan lain yang harus dia hadapi karena ambisi Jessica untuk menyiksa Nathan. Selain itu dia harus menghadapi dewan yang mempunyai rencana terhadapnya.

Bagian kedua adalah bagian ketika perjalanannya untuk mencari 3 anugerah yang dibutuhkannya sekaligus melarikan dari para pemburu dewan yang mencarinya untuk suatu tujuan. Petunjuk yang dia dapatkan perlahan mulai mengantarnya ayah yang selama ini dicarinya.




Buat saya, membutuhkan perjuangan untuk membaca buku ini, apalagi dengan kenyataan bahwa bagian awal yang dituliskan menjadi semacam penceritaan awal atau prolog bagi cerita berikutnya, bisa dibaca tapi buat saya terasa tidak penting. Karena berkaitan dengan kehidupan dan keseharian sang karakter utama pada masa remajanya. Penulis juga belum terlalu sukses untuk mengupas dan memperkuat masing-masing karakternya, meski buku ini bisa dibilang cukup tebal. Dengan banyaknya karakter yang hanya menjadi sekedar “hiasan” dengan menghubungkan satu karakter dengan yang lain dan saya harapkan akan diperjelas peranannya karena bila tidak maka penulis hanya menambahkan banyak nama dalam daftar yang kurang berarti dalam buku ini. Karakter minor yang bisa ‘dibuang’ apabila difilmkan.

Narasi yang berubah-ubah diawal juga salah satu kelemahan lain karena terasa seperti diceburkan ke satu dunia asing dan dalam hitungan detik panorama berubah beserta dengan objek yang ada didalamnya. Belum lagi kesan yang saya dapatkan buku ini seperti Harry Potter dengan keadaannya, Vampire Academy dengan kisah hubungan anak dan ayahnya serta Shatter Me dengan kegalauannya.

Dari segi cerita, saya menemukan beberapa pertanyaan/ kejanggalan/ hal yang menimbulkan rasa penasaran/ emosi, dan lain-lain yaitu:

  1. Sikap Arran dan Deborah kepada Nathan. Yang bisa dibilang bertentangan dengan Jessica yang buat saya lebih masuk diakal.

  2. Kesabaran Nathan yang terlalu tinggi, meski dengan perlakuan dewan dan orang lain di sekitarnya. Dia ingin berontak tapi pasrah sama keadaan. Bukan orang cengeng tapi bikin saya jambakin rambut sendiri saking jengkelnya.

  3. Di buku ini dituliskan tentang Marcus yang bisa dibunuh dengan cara *sensor*. Kenapa begitu? Garis kekeluarganya tidak mengharuskan dengan cara seperti itu. Ayahnya, Kakek, Buyut sampai ke atas, mereka meninggal dengan bermacam cara. Apakah karena perkawinan campuran? Tapi bukankah pada umur 17, Nathan dipaksa oleh takdir #plakk untuk menjadi hitam atau putih.

  4. Sally Green membagi penyihir menjadi beberapa jenis. Tapi pada dasarnya adalah penyihir hitam dan putih. Garis pembatasnya juga tidak terlalu jelas antara kedua jenis itu, mengingat tingkah polah keluarga Annalise terhadap Nathan.


Tapi, apapun itu saya sendiri menunggu kelanjutannya supaya tidak digantung seperti ini.

Trivia:

  1. Pada 3 Maret 2014 buku ini mendapatkan pengakuan dari Guinness World Record sebagai 'Most Translated Book by a Debut Author, Pre-publication', diterbitkan dan dijual dalam 45 bahasa sebelum dipublikasikan.

  2. Mendapatkan 2 rekor tambahan “the most translated book” dan “the most translated children's book” oleh penulis debutan.

  3. Selain dibandingkan dengan Hunger Games, Harry Potter dan Twilight, buku ini juga dibandingkan dengan 1984-nya George Orwell

  4. Film adaptasinya akan digarap oleh Fox 2000.

  5. Didaftarkan sebagai salah satu penerima Branford Boase Award 2015 dan Waterstones Children's Book Prize 2015 untuk penulis dan editornya.


(Sumber: Wikipedia)

The Battles for Skandia (Ranger’s Apprentice #4)

slider_rangers


IMG_20150404_075355

By John Flanagan

Usaha Will dan Evanlyn untuk pulang ke Araluen masih berlanjut, terjebak di daratan Skandia yang putih bersalju tidak menyurutkan niat mereka untuk pulang. Suatu hari Evanlyn diculik dan meninggalkan Will dalam kebingungan. Mulailah dia mencari dan memperhatikan petunjuk yang dia yakini mengarahkannya ke tempat Evanlyn berada.

Sementara itu Halt diusir dari Araluen sebagai akibat penghinaannya terhadap sang raja. Halt yang dilarang meninggalkan kerajaan untuk mencari Will melakukan penghinaan itu dengan sengaja. Tapi sebagai tambahan atas kelancangannya itu statusnya sebagai Ranger juga dicopot dan dilarang memasuki Araluen selama setahun. Untuk memastikan itu semua, pihak kerajaan meminta Horace untuk mengawasi dan memastikan Halt benar-benar keluar dari Araluen (meskipun itu bukan maksud sebenarnya).

Bersama Horace akhirnya Halt pergi meninggalkan Araluen.

Dalam pencariannya, meskipun luka yang dialami Will menghambat pencarian Evanlyn di tanah Skandia, akhirnya dia berhasil menemukan Evanlyn. Dalam perenungannya dalam mencari jalan untuk membebaskannya, beruntung Halt dan Horace berhasil menemukan Will dan membantunya membebaskan Evanlyn. Akan tetapi mereka menjumpai dengan Jarl Erak, Skandian yang mengenal Will dan menjadikannya budak.

Mereka pun ditangkap dan dibawa untuk menemui Oberjarl Ragnak. Dalam ketegangan itulah, Halt akhirnya memberikan informasi bahwa Skandia akan diserang oleh Temujai yang saat ini sudah berada di tanah mereka dan bersiap menyerang. Temujai yang berkeinginan untuk memperluas daerah kekuasaan.

Dibantu dengan Will dan Horace untuk melatih para budak yang bersedia ikut berperang dengan imbalan kebebasan mereka, mereka bahu-membahu untuk melawan Tem’uj. Will mengajukan diri untuk melatih 100 budak yang ada untuk menjadi pemanah, dibantu Horace yang melatih budak lainnya sebagai pembawa Tameng sebagai antisipasi serangan panah balasan.

Evanlyn yang merasa tidak berguna dalam situasi tersebut akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar tempat mereka tinggal dan saat itulah dia menemukan sebuah kejanggalan dan memutuskan untuk mencari informasi dengan membuntuti salah satu Jarl dengan tindak tanduk yang membuatnya curiga dan penasaran.

Beberapa hari kemudian, rahasia tentang siapa sebenarnya Evanlyn terbongkar karena salah seorang penduduk Araluen yang dijadikan budak di Skandia mengenalinya dan terdengar oleh salah satu Jarl. Jati dirinya yang merupakan putri Cassandra dari raja Araluen membuat Ragnak bermaksud untuk membunuhnya karena terikat pada sumpahnya untuk membunuh semua keturunan Raja Araluen. Halt akhirnya mengajukan kesepakatan yang pada akhirnya disetujui oleh Oberjarl yaitu dengan menawarkan bantuannya untuk membantu mempertahankan Skandia dengan penundaan untuk membunuh Evenlyn.

Akankah Skandian yang dibantu oleh Will, Halt, Horace dan Evanlyn berhasil mengalahkan Tem’uj dan mengusir mereka dari Skandia dan kembali ke Araluen dengan selamat? Baca sendiri yaaa.... :D




slider_rangersextras

Kembali dengan seri favorit saya Ranger’s Apprentice. The Battle for Skandia merupakan buku keempat dari 12 buku yang ada. Seri yang berasal dari cerita pendek ini tetap memikat hati saya pada setiap bukunya. Penceritaannya yang runtut dan membuat penasaran di setiap halamannya, bisa menyita waktu saya. Jujur, saya akhirnya memutuskan untuk membaca buku ini setelah menunda cukup lama. Bukan karena tidak adanya waktu, akan tetapi lebih ke karena saya tidak mau seri ini berakhir :D. Cukup aneh memang...tapi itulah saya.

Tidak seperti ketiga buku sebelumnya The Ruins of Gorlan, The Burning Bridge, The Icebound Land yang sempat saya cicipi versi terjemahannya. The Battle for Skandia dan seterusnya tidak cukup beruntung untuk sampai ke tangan pembacanya di Indonesia, kecuali buat mereka yang doyan belanja di situs belanja yang menjual buku-buku impor dengan harga yang hampir dua kali lipat.

The Battle for Skandia sendiri merupakan judul yang dipakai untuk publikasi di Amerika Serikat. Di negara asalnya (Australia tentu saja) dan UK buku ini berjudul Oakleaf Bearers dan sempat menjadi finalis Aurelis Award tahun 2006 untuk kategori Novel Anak Terbaik (Best Children’s Novel).

Buku ini masih berfokus pada perjalanan Will dan Evanlyn yaang merupakan ending buku sebelumnya, The Icebound Land (dengan akhir cerita yang menggantung). John Flanagan masih mempertahankan gaya menulisnya yang sederhana (meskipun istilah/ penamaan yang dipakai terkadang sedikit memusingkan :D). Atmosfer yang dibangun pun masih terasa kuat. Latar belakang dan suasana yang dituliskan cukup membantu dalam penggambaran tanah Skandia yang berhawa dingin, saju yang terhampar meskipun banyak pepohonan yang (sedikit) membantu menghijaukan pengambaran dunia yang ada.

Buat saya pribadi, beberapa unsur ini menggabungkan beberapa suku bangsa/ kelompok Vikings, Mongol, Jepang, Inggris dan beberapa aspek lainnya. Meskipun lemah dari segi adat akan tetapi John Flanagan berhasil membuat latar belakan kelompok tersebut sendiri dengan cukup kuat dan berhasil meyakinkan saya bahwa mereka itu nyata dan hidup di dunia yang ada di buku ini. Halt sebagai karakter yang cukup kuat di buku ini, digunakan sang penulis untuk menceritakan tentang masing-masing pihak/ kelompok yang ada dengan cukup apik dan rapi sehingga kita tidak dibuat seperti sedang membaca buku pelajaran. Will tetap dengan karakternya yang ada dari buku pertama meski dalam buku ini terlihat cukup lemah, Horace dengan karakternya yang tetap berasa datar dan belum ada perkembangan dan Evanlyn yang terlihat ada perbedaan dan mulai...ehm..ehm....

Kisah romansa yang tidak di angkat di buku-buku sebelumnya pun mulai dikisahkan oleh penulis dan dijadikan materi baru di buku ini, sebagai pendamping cerita konflik antar kerajaan dan hubungan antar masing-masing karakter yang ada.

Overall, saya suka buku ini apalagi berakhir dengan cerita yang membuat saya menjadi emosional dan membuat saya sempat *******. :D Keputusan Will yang diambil di buku ini juga membuat saya tersenyum dan berharap banyak untuk seri selanjutnya.

200px-The_Ruins_of_GorlanThe_Burning_BridgeThe_Icebound_LandOakleaf_Bearers_book_cover

200px-The_Sorcerer_in_the_North200px-The_Siege_of_Macindaw200px-Erak's_RansomThe_Kings_of_Clonmel


200px-The_Emperor_of_Nihon-JaHalt's_Peril220px-The_Lost_Stories220px-The_Royal_Ranger,_John_Flanagan,_front_cover

Paper Towns

IMG_20150329_104244by John Green

Margo Roth Spiegelman

Gadis yang menarik bagi orang yang mengenalnya, populer di kalangan sekolah dan menjadi idola bagi sebagian temannya. Termasuk Quentin Jacobson (atau yang dipanggil Q oleh kedua teman dekatnya).

Quentin dan Margo adalah teman di masa kecil, selain rumah mereka yang berdampingan juga karena mereka sebaya dan kamar tidur dengan jendela yang saling berhadapan. Akan tetapi hubungan pertemanan mereka merengang sejak mereka menemukan sesosok mayat saat mereka bermain waktu masih kecil. Margo dengan ketertarikannya terhadap mayat tersebut dan Quentin yang merasa ketakutan pada saat itu, sampai pada akhirnya Quentin diberitahu orang tuanya untuk membatasi hubungannya dengan Margo kecil karena ‘keunikan’nya.

Setelah bertahun-tahun berlalu, Q masih suka mencuri pandang untuk melihat Margo karena memang dia menyukai gadis itu meski bertepuk sebelah tangan. Kehidupan mereka sampai dengan SMA mereka hanya sebatas bertegur sapa dan berbicara seadanya semenjak kejadian di masa kecil mereka.

Malam itu, tiba-tiba Margo dengan kegilaannya meminta bantuannya untuk melaksanakan misi-misinya. Dengan melompati jendela kamarnya dan mengagetkannya. Mereka pun berkendara untuk melaksanakan entah apa yang ada di otak Margo, meskipun senang tapi sekarang dia menyadari bahwa dia tidak begitu mengenal gadis yang diam-diam dikaguminya itu, dan dia pun menyadari semakin dia tidak mengenal gadis itu semakin dia ingin mengetahui apa yang ada diotaknya.

Apalagi saat dia pergi entah kemana dan hanya meninggalkan petunjuk, semakin besar keinginannya untuk mencari keberadaannya dan menemukannya.




Another John Green’s books..

Setelah terlena dengan kisah The Fault in Our Stars (abaikan filmnya) yang membuat saya...ehm...mata saya berkeringat, dan kekecewaan akan an Abundance of Katherine dengan ke-OCD-annya dan “kebetulan” yang berlebihan akhirnya saya membaca judul ini hanya karena filmnya yang akan diputar pada tahun ini.

Ceritanya sederhana, bisa dinikmati dan memberikan keseruan di beberapa bagian, terutama saat acara yang terjadi di malam saat Quentin berlarian kesana kemari membantu Margo menjalankan misi-misinya.

Mengangkat kehidupan sehari-hari pelajar SMA, kenakalan, persahabatan dan pergaulan mereka. Tapi dibalik itu semua ada cerita menarik tapi cenderung kelam buat saya pribadi. Kisah kehidupan Margo yang misterius dan tidak bisa ditebak.

Terus bagian mananya yang menarik buat saya? Saya tidak tahu. Mengangkat tema kehidupan remaja memang menarik tapi tidak lebih dari itu. Setiap orang punya permasalahan, rahasia dan cara mereka untuk melewatinya. Selain itu saya tidak bisa menemukan hal yang akan mengingatkan saya terhadap cerita yang ada di buku ini. Mungkin saat inilah saat yang tepat bahwa ‘buku ini bukan buat saya’. Dan hal ini terbukti dari kebuntuan saya menulis. Hahahaha... #ngeles

Wednesday, April 8, 2015

The Darkest Minds (The Darkest Minds #1)

image

Olaaaa.....

Hehehe... Rasa malas menyerang kalbu dan berakhir dengan agak terbengkalainya blog ini. Target 10 post per bulan gagal sudah :D #malahcurhat

Kali ini saya mau menulis tentang buku yang sebenarnya saya selesaikan bulan kemarin (yup...bulan kemarin sebenarnya). The Darkest Minds yang ditulis oleh Alexandra Bracken.

Buku pertama dari seri The Darkest Minds ini berkisah tentang seorang cewek remaja sebagai tokoh utamanya, Ruby Elizabeth Dale seorang Orange #halah. Salah satu Psi langka bila dibandingkan dengan Hijau dan Biru. Kekuatan yang dimilikinya membuatnya untuk memilih dia berbohong dan mengaku sebagai seorang Hijau karena melihat perlakuan berbeda yang diberikan kepada Orange dan Merah.

Orange adalah mereka yang mempunyai kekuatan untuk menyelinap di pikiran lainnya dan menguasai pikiran mereka. Mereka yang mempunyai kekuatan ini dianggap berbahaya.

Biru adalah mereka yang mempunyai kekuatan telekinesis, kekuatan untuk menggerakkan obyek dengan pikiran mereka. Mereka yang mempunyai dianggap tidak berbahaya.

Hijau adalah mereka yang mempunya intelejensia tinggi, yang paling pintar diantara yang lain. Hijau adalah salah satu yang dianggap tidak berbahaya.

Merah adalah mereka yang memiliki kekuatan pyrokinesis, kekuatan yang berhubungan dengan api dan pengendaliannya. Sama seperti Orange, Merah juga dianggap memiliki kekuatan yang berbahaya.

Kuning adalah mereka yang mempunyai kekuatan yang berhubungan dengan listrik, membuat dan mengontrol mereka. Mereka juga dianggap sebagai salah satu yang berbahaya.

Di Kamp Rehabilitasi Thurmond di mana tempat Ruby berada terjadi peristiwa yang berakhir pada pelariannya karena kekuatan yang dimilikinya. Peristiwa lain terjadi dan berakhir pada pertemuannya dengan Liam (Biru), Suzume (Kuning) atau yang dipanggil Zu dan Charles (Biru) atau yang dipanggil Chubs. Bersama-sama mereka melarikan diri dari kejaran dari Children’s League maupun IAAN. Apakah yang akan terjadi dengan mereka dan apakah pihak yang mengejar mereka akan berhasil menangkap mereka?




Okee....

Cukup segitu yang bisa saya tulis tentang buku ini. Kenapa? Karena ceritanya sebenarnya begitu sederhana untuk buku yang bisa dianggap tebal ini, karena itulah saya memutuskan berhenti bercerita sampai disitu supaya perkembangan selanjutnya bisa kalian baca sendiri :D

Ini yang ada di pikiran saya saat membaca buku ini.

Buku ini mengingatkan saya antara perpaduan Divergent series dan Shatter Me trilogy (yang tentu saja mengingatkan kita dengan kelompoknya Prof. Xavier dengan kekuatan mutannya). Pengelompokan manusia berdasarkan kemampuan/ keahlian mereka memang bukan kali ini saja kita temui dalam novel, seperti Divergent (yang sudah saya sebutkan diawal), The Hunger Games bahkan Harry Potter.

Kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing karakter-pun bukan hal yang baru lagi, apalagi buat mereka penggemar X-Men. Novel yang baru-baru saya baca yang juga mengandalkan kekuatan sebagai daya tarik utama adalah Ignite Me yang merupakan buku ketiga trilogi Shatter Me, bahkan karakter mereka juga mirip, sama-sama mencoba kuat, menganggap diri mereka monster dan menganggap diri mereka adalah pusat alam semesta, tapi rapuh di saat yang sama meskipun R tidak seheboh si J... hahaha.... IYKWIM (efek membaca The Casual Vacancy)

Di awal, buku ini berasa berbelit-belit dan jujur susah menangkap apa yang ditulis :D Struktur yang sedikit aneh membuat saya juga sedikit bingung. Akan tetapi karena kecerdasan otak saya, akhirnya saya terbiasa juga membaca buku ini #plakk (di lempar almari sama Ruby).

SPOILER ALERT!! SPOILER ALERT!! SPOILER ALERT!! SPOILER ALERT!! SPOILER ALERT!!


Kisahnya pun sedikit mudah ditebak, apalagi ending yang terjadi dengan salah seorang karakter yang dekat dengan karakter utama.... oh, please... yang LAGI-LAGI membuat saya teringat tentang dengan yang dialami Daniel Altan Wing di Champion karya Marie Lu, yang meski cara mereka mendapatkannya berbeda dengan tujuan yang... :) .

Ignite Me (Shatter Me #3) | Four (Divergent's Companion Book)

10576365THDARKESTMINDS-NEVER-FADE-WELCOME In_the_afterlight